Rendi berharap, sistem kuota dan jadwal setiap angkutan batu bara bisa diterapkan pemerintah, tujuannya agar waktu tempuh tidak memakan waktu 3-5 hari di jalanan.
"Masih ada lah sisa uang jalan untuk sopir walau macet-macet begini. Tapi nominalnya sudah kecil. Sementara harga-harga barang terus tinggi," kata dia.
Mengenai persoalan kemacetan ini, Rendi sudah melapor ke atasannya, tetapi pihak perusahaan tambang batu bara maupun pemerintah belum memberikan solusi.
Akibat kemacetan panjang, uang jalan yang diberikan bos Rendi sudah dihabiskan untuk banyak pengeluaran.
Contohnya untuk membayar BBM, makan di jalan, selain itu sopir batu bara juga harus bayar uang ke kantong parkir mulai dari Rp 20.000 dan bervariasi.
Pengeluaran tersebut belum termasuk untuk yang meminta uang di jalanan, hal ini yang menyebabkan pengeluaran sopir angkutan batu bara membengkak dibanding waktu normal.
"Kami sedih melihat masyarakat selalu terjebak kemacetan. Ada orang sakit di ambulans sampai meninggal, anak susah mau sekolah. Tapi kami (sopir batu bara) butuh makan, kami sudah lapor ke bos, tapi tetap tidak ada solusi. Mau tidak mau kamu jalani, setiap hari macet," kata Rendi.
Sumber: https://regional.kompas.com/read/2023/03/01/091016578/kemacetan-22-jam-di-jambi-ikan-mati-sopir-tekor-dan-penumpang-ambulans?page=all
Editor | : | Naufal Nur Aziz Effendi |
Sumber | : | Kompas.com |
KOMENTAR