Selanjutnya disesuikan dengan pawukon, seperti saat ini tepat dengan wuku landep sehingga disebutlah Tumpek Landep.
Secara tekstual, menurut Dosen Bahasa Bali Unud, Putu Eka Guna Yasa, sebagaimana yang termuat pada Lontar Sundarigama, saat Tumpek Landep ini kita memuja Bhatara Siwa dan Sang Hyang Pasupati nunas (meminta) kasidian atau kekuatan atas senjata-senjata perang.
"Karena saat jaman kerajaan, senjata menjadi sangat penting bagi suatu kerajaan untuk mempertahankan dirinya dari serangan musuh.
Sehingga patutlah Tumpek Landep ini digunakan sebagai momentum untuk recharging yaitu dengan upacara selain diasah," kata Guna.
Akan tetapi dewasa ini, berperang tidak lagi menggunakan senjata akan tetapi berperang dengan jnana dan idep.
Kita berperang dengan nalar dan pikiran, maka pikiran harus di-recharging atau dipertajam baik secara pengetahuan maupun rohaniah.
Itulah sebabnya mantra yang dibaca saat Tumpek Landep adalah mantra danurdhara.
Danurdhara sendiri merupakan pasukan pemanah.
"Dalam Kakawin Ramayana disebutkan 'ikanang danurdhara kabeh' atau pasukan khusus yang menguasai senjata panah.
Dan tradisi kita menganggap panah sebagai simbol ketajaman konsentrasi pikiran. Secara fisik, memang disimbolkan dengan panah, padahal yang dimaksudkan juga manah atau konsentrasi pikiran," imbuhnya.
Editor | : | Adi Wira Bhre Anggono |
Sumber | : | Tribun-Bali.com |
KOMENTAR