Baca Juga : Genjot Industri Modifikasi Kendaraan dalam Berinovasi, Agar Tembus Ekspor
Menurut Airlangga, apabila industri otomotif menggunakan virgin plastic, maka biaya produksi akan lebih mahal.
Terlebih apabila dengan impor virgin plastic, kebutuhan devisa akan menjadi lebih tinggi, karena saat ini Indonesia baru mampu memproduksi satu juta ton virgin plastic, padahal kebutuhannya mencapai lima juta ton.
“Karena itu pemerintah mendorong yang namanya circular economy, yang bagian juga dari industri 4.0,” tegasnya.
Ia menilai, kapasitas daur ulang plastik di Tanah Air masih jauh dari standar, padahal masih bisa ditingkatkan. Saat ini, di dalam negeri baru mampu mendaur ulang 12,5 persen dari standar industri yang seharusnya yakni 25 persen.
Sementara itu, salah satu implementasi industri daur ulang di sektor otomotif yang sudah berjalan adalah pembuatan blok mesin, 80% persen sudah menggunakan material daur ulang.
“Karena aluminum alloy itu masuk recycle material, saya tegaskan kembali bahwa recycle industry ini adalah sesuatu yang harus dilakukan, jadi tidak perlu khawatir,” ujar Airlangga.
Baca Juga : Kolaborasi Lintas Industri, Datsun Gandeng Produsen Sepatu Asal Bandung
Kemudian apabila dilihat dari persektoral, aluminium sendiri sudah menjadi salah satu yang circular economy-nya tinggi, yakni sudah di atas 70%, sehingga komponen kendaraan yang menggunakan bahan recycle aluminium, seperti blok mesin dan pelek mobil lebih kompetitif dan memiliki daya saing tinggi.
“Kalau misalnya industrinya harus 100 persen virgin aluminum, mobil tidak akan ada yang kompetitif, karena cost-nya akan tinggi,” jelas Airlangga.
Editor | : | Indra Aditya |
KOMENTAR