Otomania.com - Teknologi aspal sirkuit Mandalika ternyata diaplikasikan juga di tiga jalan Indonesia, di sini lokasinya.
Federation Internationale de Motorcyclisme (FIM), Dorna Sports, dan IRTA resmi memberikan homologasi Grade A kepada Pertamina Mandalika International Street Circuit atau Sirkuit Mandalika.
Homologasi Grade A tersebut didapatkan Sirkuit Mandalika melalui track inspection pada Kamis (17/3/2022).
Dengan grade tertinggi yang dimiliki FIM tersebut, artinya sirkuit Mandalika layak untuk menggelar balap motor kelas dunia seperti MotoGP.
Sirkuit berstandar internasional yang terletak di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika, Nusa Tenggara Barat (NTB), ini diketahui menggunakan teknologi aspal yang baru diterapkan di tiga sirkuit di seluruh dunia.
Teknologi aspal yang digunakan adalah Stone Mastic Asphalt (SMA), yang merupakan campuran aspal untuk melapisi permukaan atas lintasan.
SMA adalah campuran jenis aspal dengan open graded. Artinya kehalusan yang diberikan oleh aspal tidak kontinu seperti pada hot mix asphalt.
Tujuannya adalah untuk memperkuat struktur lapisan permukaan dengan prinsip kontak stone by stone. Karenanya, volume aspal yang digunakan menjadi lebih kecil.
Direktur Kontruksi dan Pengembangan dari Mandalika Grand Prix Associaton (MGPA) Dwianto Eko Winaryo menyampaikan, tidak semua sirkuit di dunia menggunakan campuran SMA.
Karena salah satu jenis aspal campuran ini terbilang baru mulai digunakan pada tahun 2014-2015.
"Dengan tipe aspal Stone Mastic Asphalt, memberikan makro tekstur yang lebih baik buat pebalap," katanya dalam konferensi virtual yang dikutip Kompas.com.
Namun, apakah teknologi SMA pernah diterapkan untuk perkerasan jalan raya?
Pengamat Perkerasan Jalan dan Aspal yang pernah menjabat sebagai Direktur Bina Teknik Ditjen Bina Marga Kementerian PUPR Purnomo menjelaskan, SMA sudah digunakan untuk membangun jalan raya dengan lalu lintas berat sejak tahun 1992.
“SMA kita gunakan mulai tahun 1992 di jalan lalu lintas berat, tetapi ada yang berhasil sampai umur 10-15 tahun, kondisinya masih baik. Namun, juga ada yang 5 tahun sudah rusak padahal umur rencananya 10 tahun,” jelas Purnomo saat dihubungi Kompas.com, Selasa (22/3/2022).
Menurut Purnomo, hal ini disebabkan karena SMA memerlukan campuran agregat batu pecah yang berbentuk kubus.
Sementara batu pecah dengan bentuk kubus adalah hasil produksi stone crusher dengan kombinasi JAW crusher dan secondary cone crusher.
“Rata-rata batunya banyak yang pipih jadi sejak tahun 1998 lapis perkerasan (menggunakan SMA) mulai ditinggalkan dan baru mulai tahun 2010 dimunculkan lagi, namun jarang yang mau pakai,” tambah Purnomo.
Lantas, jalan mana yang sudah menerapkan teknologi ini?
Baca Juga: Kaum Nyinyir Minggir, MGPA Tegaskan Jatuhnya Pembalap di Sirkuit Mandalika Bukan Karena Aspal
Purnomo menyebutkan, terdapat tiga ruas jalan nasional non-tol di Indonesia yang telah menggunakan SMA sebagai perkerasan sebelum tahun 2000.
Pertama adalah jalan nasional non-tol Tangerang-Merak pada tahun 1992. Hingga tahun 2003, kondisi jalan ini masih dalam kondisi yang cukup baik.
Kedua adalah jalan nasional non-tol Bawen-Salatiga tahun 1992 yang juga ditemukan masih dalam kondisi baik hingga tahun 2005.
Ketiga adalah jalan nasional non-tol Kalianda-Bakauheni yang dibangun tahun 1994.
Akan tetapi, jalan ini sudah dalam kondisi rusak pada tahun 1999. Sedangkan untuk penerapan SMA di jalan luar Pulau Jawa, rata-rata tidak berhasil dilaksanakan karena produksi batu yang tidak sesuai kriteria.
Lanjut Purnomo, teknologi SMA seharusnya mulai digunakan saat ini karena umur rencana jalan untuk perkerasan aspal adalah 20 tahun dan perkerasan beton 40 tahun.
“Mestinya kalau ada perkerasan yang baru satu per tiga umur rencana 7 tahun untuk aspal dan satu per tiga umur rencana 13 tahun untuk beton sudah rusak, pasti perencanaannya atau pelaksanaannya ada yang kurang pas,” tutup Purnomo.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Tak Hanya Sirkuit Mandalika, Tiga Ruas Jalan Ini Juga Gunakan Aspal Berteknologi SMA
Editor | : | Naufal Nur Aziz Effendi |
Sumber | : | Kompas.com |
KOMENTAR