Otomania.com - Direktur Keuangan Pertamina menjelasakan beberapa faktor penyebab kerugian PT Pertamina (Persero) yang mencapai Rp 11 Triliun.
Pertamina tercatat mengalami kerugian sekitar Rp 11 triliun pada semester I/2020. BUMN energi ini tengah mengupayakan berbagai antisipasi agar kerugian tak semakin besar.
Direktur Keuangan Pertamina, Emma Sri Martini mengatakan, kerugian Pertamina tersebut terkait dengan pandemi virus corona ( Covid-19) dan pemberlakukan PSBB.
Selain itu, Pertamina rugi juga dikontribusi faktor kurs rupiah terhadap dollar AS.
Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS berada di titik terendah pada Maret yang sempat menyentuh angka Rp 16.608 per dollar AS.
Baca Juga: Intip Kekayaan Ahok, Gaji Komisaris Utama Pertamina Bisa Buat Beli Cash Berbagai Tipe Mobil Nih!
Di satu sisi, belanja perusahaan, seperti untuk impor minyak mentah dan bahan bakar minyak (BBM), menggunakan mata uang dollar AS.
"Sementara pendapatan Pertamina sebagian besar dalam mata uang rupiah. Untuk itu, salah satu langkah strategis perusahaan menghadapi tantangan pada tahun 2020 adalah dengan renegosiasi kontrak yang menggunakan mata uang asing untuk dibayar menggunakan rupiah," kata Emma dikutip dari Harian Kompas, Selasa (1/9/2020).
Dikatakan Emma, perseroan memilih untuk mengurangi belanja modal dan belanja operasional dengan penghematan hingga 4,7 miliar dollar AS atau sekitar Rp 68,1 triliun.
Sebelum pandemi Covid-19 melanda Indonesia, Pertamina menganggarkan 7,8 miliar dollar AS atau setara Rp 113 triliun tahun ini.
Baca Juga: Pertalite Turbo, Bensin Baru Oktan Lebih Tinggi dari Pertamax, Tapi Harga Lebih Murah
Pertamina juga memitigasi risiko selisih kurs dengan meningkatkan kinerja arus kas perusahaan.
Dilansir dari Antara, Emma menjelaskan volume penjualan BBM/BBK pada April 2020 turun hingga 26 persen jika dibandingkan dengan Juli 2019.
Turunnya permintaan masyarakat dalam menggunakan BBM menyebabkan Pertamina kehilangan pendapatan (revenue).
"Pandemi Covid-19 sangat signifikan sekali terhadap penurunan permintaan ini, menyebabkan pendapatan kita sangat terdampak. Kita lihat di kuartal II bulan April ini adalah posisi terdalam," kata Emma.
Emma menjelaskan bahwa penjualan BBM mulai menunjukkan tren positifnya pada bulan Juni yang meningkat sebesar 7 persen, dan Juli sebesar 5 persen, meski belum kembali pada "normal rate".
Turunnya permintaan pada BBM juga memberikan dampak pada inventarisasi atau bahan bakar yang tersimpan di kilang.
Sebagai contoh, stok avtur pada April-Mei saja mencapai hingga 400 hari, namun di sisi lain biaya inventarisasi tetap berjalan.
"Avtur kita stoknya bisa sampai 400 hari, solar juga, semua terdampak dan itu memakan menjadi inventory cost, sementara revenue tidak ada," kata Emma.
Sebelumnya, Vice President Corporate Communication Pertamina, Fajriyah Usman, mengatakan masa pandemi Covid-19 terutama saat pemberlakukan PSBB jadi penyebab utamanya turunnya kinerja perseroan (rugi).
"Salah satu shock yang dialami pada masa pandemi Covid-19 adalah penurunan permintaan (demand) BBM, namun seiring pemberlakuan adaptasi kebiasaan baru dan pergerakan perekonomian nasional," terang Fajriyah dalam keterangannya.
Baca Juga: Sering Gonta-ganti Merek Bensin Apa Efeknya? Ini Penjelasan Dari Ahli
"Tren penjualan Pertamina pun mulai merangkak naik. Kinerja kumulatif Juli juga sudah mengalami kemajuan dan lebih baik dari kinerja kumulatif bulan sebelumnya,” kata dia lagi.
Menurut Fajriyah, periode Februari hingga Mei 2020 merupakan masa-masa terberat Pertamina dengan volume demand yang terus mengalami penurunan tajam akibat pandemi Covid-19.
Bahkan saat diberlakukan PSBB di sejumlah daerah, penurunan permintaan BBM di kota-kota besar mencapai lebih dari 50 persen.
Pertamina juga harus menghadapi tekanan tambahan berupa penurunan pendapatan di sektor hulu, total pendapatan Pertamina, yang tercantum dalam Laporan Keuangan unaudited Juni 2020 turun hingga 20 persen.
Fajriyah juga menyampaikan dengan penurunan pendapatan yang signifikan, maka laba juga turut tertekan.
Pada pada Januari 2020, Pertamina masih membukukan laba bersih positif 87 juta dollar AS.
Namun memasuki 3 bulan selanjutnya, mulai mengalami kerugian bersih rata-rata 500 juta dollar AS per bulan.
Perusahaan juga sempat tertekan dengan harga minyak ICP pada April sebesar 21 dollar AS per barel. Sementara perusahaan juga harus mempertahankan bisnis hulu migas.
Editor | : | Adi Wira Bhre Anggono |
Sumber | : | Kompas.com |
KOMENTAR