Jakarta, Otomania - Kesadaran akan pentingnya keselamatan berkendara masih sangat minim di Indonesia, khususnya kota-kota besar. Kondisi ini bisa dilihat dari data kecelakaan yang biasa dikeluarkan pihak kepolisian.
Secara dominasi, sepeda motor menjadi penyumbang terbanyak kecelakaan. Bahkan AKBP Budiyanto, Kasubdit Bin Gakkum Ditlantas Polda Metro Jaya (PMJ) beberapa waktu lalu mengatakan bahwa peningkatan kecelakaan pada tiga bulan pertama di 2016 meningkat 12 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Menanggapi hal ini Jusri Pulubuhu dari Training Director Jakarta Defensive Driving Center (JDDC) mengatakan sumber pertama kecelakaan terjadi adalah sikap ketidak pedulian seseorang akan bahaya. Contoh ini diaplikasi dengan beragam cara, dan yang paling sering adalah melanggar lalu lintas.
"Bisa dibilang sebagian besar kecelakan itu akibat melanggar lalu lintas. Tapi kita harus introspeksi diri, melanggar itu akibat dorongan dalam diri yang tidak peduli terhadap bahaya. Salah satu sifat jelek kita kadang-kadang suka anggap remeh dan modal nekat tanpa pikir panjang," ucap Jusri kepada Otomania (7/7/2016).
Menurut Jusri, secara pengetahuan orang-orang yang melanggar ini kebanyakan cukup berpendidikan, bahkan sadar akan bahaya yang akan menimpa ketika melanggar. Namun, adanya sikap buruk yang tidak acuh atau terkesan meyepelekan membuat mereka lalai dan tergoda untuk berfikir pendek.
Selain harus sadar diri, Jusri berharap masyarakat paham bahwa kecelakaan menjadi penyumbang besar angka kemiskinan. Kondisi ini berlaku bagi dua pihak, yakni pelaku (penabrak) dan korbannya sendiri.
"Rata-rata yang mengalami kecelakaan adalah mereka yang berada di usia produktif, bayangkan bila ternyata mereka itu adalah kepala keluarga yang bekerja untuk menafkahi keluarga, saat mereka sudah tidak bisa bekerja bagaimana dengan keluarganya, dari mana dana pengobatan," papar Jusri.
Sedangkan untuk pelaku, mereka bisa dituntut habis-habisan karena meyebabkan nyawa orang melayang. Bila orang tersebut harus masuk rumah sakit, tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit, sedangkan bila dipidana mereka harus kehilangan pekerjaan sehingga tidak bisa menghidupkan keluarganya juga.
"Ini kejadian nyata bukan rekayasa atau perumpamaan. Kondisi ini sudah banyak contohnya," kata Jusri.
Editor | : | Azwar Ferdian |
KOMENTAR