Masih menurutnya, pendapatan JSMR meningkat 110,62% dibanding tahun 2016 yaitu Rp 16,66 triliun.
Jadi, peningkatan tarif ini makin menegaskan pemerintah memang hanya mengejar keuntungan dan pendapatan, bukan pelayanan. Malah kebijakan ini memeras rakyat.
Menurut Fadli Zon, permasalahan ketiga adalah penyesuaian tarif tol yang tak diiringi penyesuaian Standar Pelayanan Minimal (SPM).
Jika merujuk pada Peraturan Menteri (Permen) PUPR Nomor 16 Tahun 2014, ada delapan indikator SPM.
Yaitu kondisi jalan, kecepatan tempuh rata-rata, aksesibilitas, mobilitas, keselamatan, unit pertolongan, kebersihan lingkungan, serta kelayakan tempat istirahat dan pelayanan.
Namun, berdasarkan pemeriksaan BPK, masih banyak ditemukan pemenuhan SPM jalan tol tak memadai.
(BACA JUGA: Ini Gambaran Biaya Tes Psikologi Sebagai Syarat Bikin dan Perpanjang SIM)
Antara lain belum adanya SOP pemeriksaan pemenuhan SPM yang lengkap, tidak adanya penetapan standar penggunaan kecepatan tempuh rata-rata.
Lalu beberapa ruas tol ditemukan tak memenuhi indikator jumlah antrean kendaraan dan kecepatan tempuh minimal rata-rata.
“Jadi, seharusnya kalau indikator-indikator SPM itu belum bisa dipenuhi, kenaikan tarif tol tak bisa dilakukan."
"Ini sama saja masyarakat dipaksa membayar lebih mahal untuk pelayanan yang masih buruk. Ini semakin membebani ekonomi masyarakat,"jelasnya.
Bahkan kata dia, kebijakan ini semakin menandakan tak adanya keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat pengguna jalan tol.
"Jalan tol seharusnya bagian dari pelayanan publik bukan mesin keuntungan. Pemerintah jangan memeras rakyat," tutupnya.