“Saya mencatat setidaknya ada tiga persoalan kenaikan tarif tol JORR kali ini. Pertama, kenaikan tarif ini berpotensi menyalahi regulasi."
Dalam UU No.38 Tahun 2004 tentang Jalan, memang benar evaluasi dan penyesuaian tarif tol dilakukan setiap 2 (dua) tahun sekali.
Penyesuaian terakhir terjadi tahun 2015. Namun ada hal lain yang perlu diperhatikan.
Dalam pasal 48 ayat (1), tarif tol dihitung berdasarkan tiga hal, yakni kemampuan bayar pengguna jalan, besar keuntungan biaya operasi kendaraan (BKBOK) dan kelayakan investasi.
"Pertanyaannya, apakah kenaikan tarif tol ini telah dihitung berdasarkan tiga komponen tersebut?."
(BACA JUGA: Ternyata Minggu Depan! Wajib Tes Psikologi Untuk Bikin dan Perpanjang Semua Jenis SIM)
“Dengan tarif Rp15.000, dari yang awalnya Rp 9.500, artinya telah terjadi kenaikan sebesar 57%. Lantas, apakah laju inflasi kita sebesar itu?"
"Bukannya pemerintah selalu membanggakan keberhasilannya dalam menekan laju inflasi dalam tiga tahun terakhir. Inflasi 2016 yaitu 3,06%, dan 2017 3,61%,” tegasnya.
Berdasarkan catatannya, pada kuartal I-2018, proporsi pendapatan masyarakat yang dibelanjakan, menurun menjadi 64,1 persen.
"Artinya kemampuan bayar pengguna jalan juga mengalami penurunan. Lantas, kenapa tarif tol dinaikkan ketika kemampuan bayar pengguna jalan menurun?" lanjutnya.
Menurutnya, dua indikator ini menunjukkan, kenaikan tarif tol lebih ditekankan pada komponen besar keuntungan biaya operasi kendaraan (BKBOK) dan kelayakan investasi.
“Kedua, kenaikan tarif tol ini juga sangatlah tak logis. Pendapatan BUJT cukup tinggi."
"Sepanjang 2017, sebagai contoh, PT Jasa Marga Tbk (JSMR) mencatatkan pendapatan sebesar Rp 35,09 triliun," tambah Fadli Zon.
(BACA JUGA: Tes Psikologi Untuk Yakinkan Masyarakat Kalau Penerima SIM Sehat Jasmani dan Rohani, Bukan Nambah Risiko)