Otomania.com - Pasar motor bebek Indonesia dibuat ramai lagi dengan hadirnya bebek trail CT125 yang dibawa langsung oleh PT Astra Honda Motor.
Honda CT125 akan dijual secara eksklusif hanya di jaringan Honda Big Wing dan Wing dealer. Jadi tak akan ada di diler biasa.
Eksklusifitas bebek trekking satu ini tak terlepas dari nilai sejarah yang sedang dibangun Honda pada CT125.
Bisa dibilang ia merupakan reinkarnasi dari Honda CT200 Trail 90 yang lahir pada tahun 1964.
Di mana sebelumnya juga ada Honda CA100T Trail 50 yang meluncur pada tahun 1961.
CT yang mungkin dari singkatan Cub Trekking ini mengejar fungsi kendaraan harian namun juga asik dibawa ke kegiatan outdoor seperti berkemah dan memancing.
Baca Juga: RESMI! Honda CBR1000RR-R Fireblade Meluncur di Indonesia, Harga Tak Semahal Goldwing
Kalau di Indonesia, motor seperti ini sudah pasti bakal disebut sebagai bebek trail secara umum.
Dari desainnya, Honda CT125 dibuat punya rangka besar di bagian belakang guna mengakomodasi bawaan barang berat saat aktifitas trekking.
Kemudian ada posisi filter udara dan knalpot yang lebih tinggi guna menunjang aktifitas menerabas genangan air di kala trekking.
Lalu ukuran kedua peleknya 17 inci, dengan garpu depan model teleskopik dan sudah dibekali dengan ABS untuk rem depan.
Selain desain yang sudah terlihat siap diajak ke alam bebas, Honda CT125 juga sudah dibekali dengan panel instrumen digital serta sistem LED di seluruh fitur pencahayaan.
Motor ikonik ini dibekali dengan mesin 125 cc PGM-FI dengan 4 percepatan dan berpendingin udara.
Spek piston CT125 punya bore dan stroke 52.4 x 57.9mm dengan rasio kompresi 9.3:1, tenaga maksimalnya 8,7 dk torsi maksimal sebesar 11 Nm.
Tangki bensinya sendiri berkapasitas 5,3 liter yang membuatnya asik dibawa jalan jauh.
Soal harga harap maklum, bebek trail Honda CT125 dijual Rp 75 juta untuk on the road Jakarta.
Mahalnya harga tersebut karena CT125 masih merupakan kendaraan completely build up (CBU) alias impor secara utuh.
Kira-kira artis mana nih yang duluan punya ya?
Editor | : | Adi Wira Bhre Anggono |
KOMENTAR