Jakarta, Otomania - Taksi berbasis aplikasi atau online semakin marak di Indonesia, terutama kota-kota besar. Namun, yang meresahkan adalah hadirnya layanan taksi non-trayek ilegal.
Pemerintah dalam hal ini yaitu Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) tidak mengambil langkah untuk menutup aplikasi tidak resmi itu.
Shafruhan Sinungan, Ketua Organisasi Pengusaha Nasional Angkutan Bermotor di Jalan (Organda) DKI Jakarta mengatakan, taksi online yang dari aplikasi tidak resmi jumlahnya cukup banyak. Bisa ditemui, kalau pengemudi tidak bisa menunjukan surat izin.
"Menurut saya kalau pemerintah tidak hadir berbahaya. Harusnya bisa membereskan semua ini, karena yang bisa menutup aplikasi ilegal itu hanya dari Kemenkominfo," ujar Shafruhan belum lama ini di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.
Dampak munculnya aplikasi ilegal cukup besar. Sebab, bisa menyebabkan pengangguran, karena para sopir taksi resmi kehilangan sewa penumpang.
"Sudah ada beberapa perusahaan angkutan umum yang tutup akibat ini semua. Bahkan, ada juga yang rugi. Kalau ini dibiarkan dampaknya ke pemerintah juga, contohnya yang ilegal bisa demo ke pemerintah, kan lucu jadinya," kata dia.
Mengutip Peraturan Menteri (Permen/PM) Perhubungan No 32 Tahun 2016, tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak dalam Trayek, taksi online atau angkutan berbasis aplikasi wajib mendaftarkan diri, dan nama dalam STNK harus berbadan hukum atau sesuai UU No 22 Tahun 2009, Pasal 139 ayat 4.
Baca: Syarat Mutlak Avanza Murah buat Taksi "Online"
Perusahaan jasa angkutan tidak dalam trayek, misalnya taksi diperbolehkan menggunakan aplikasi. Namun, penyediaan aplikasi bisa dilakukan sendiri atau bekerja sama dengan perusahaan aplikasi yang sudah berbedan hukum Indonesia.
"Kemenhub tidak punya wewenang untuk menutup aplikasi, karena hanya Kemenkominfo. Kemenhub hanya mengurus perizinan resmi, sehingga tidak punya kemampuan menutup aplikasi," ujar Shafruhan.
Editor | : | Azwar Ferdian |
KOMENTAR