Jakarta, Otomania – Beberapa hari terakhir, kita dihebohkan dengan ulah para pesepeda motor yang merusak separator busway berupa movable concrete barrier (MCB) di Jl Daan Mogot, Jakarta Barat. Mereka takut kena jaring razia polisi, lalu nekat dengan ”bergotong-royong” merusak fasilitas jalan.
Baca:
[Hindari Razia, Para "Biker" Hancurkan Separator Jalur Transjakarta (Video)]
["Bikers" Hancurkan Separator "Busway", Potret Buram Lalu Lintas Indonesia]
Tindakan itu sudah di ambang batas dan sulit ditoleransi. Namun apa daya, jumlah pelanggar rupanya jauh lebih banyak dari personil kepolisian yang saat itu sedang menjalankan Operasi Patuh Jaya 2016. Mereka lolos begitu saja setelah melakukan tindakan yang boleh kami sebut mengarah ke anarkistis.
Soal penegakan hukum, sebenarnya sudah ada aturannya. Orang-orang seperti mereka ini sudah diancam dengan hukuman maksimal yang cukup fantastis.
Menurut Undang-Undang No 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, ketentuan pidana Pasal 274, menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan dan/ atau gangguan fungsi/ kelengkapan jalan, bakal dikenakan hukuman kurungan satu tahun, atau denda maksimal Rp 24 juta!
Atau bisa juga dikaitkan dengan Pasal 275 ayat 2 yang menyatakan bahwa merusak rambu lalu lintas, marka jalan, alat pemberi isyarat lalu linas, fasilitas pejalan kaki dan alat pengaman pengguna jalan sehingga tidak berfungsi, diancam dengan hukuman kurangan dua tahun, atau denda maksimal Rp 50 juta.
Sayang, tidak banyak pelaku kriminal di jalanan ini ditangkap. Seperti kata Edo Rusyanto, koordinator Jaringan Aksi Keselamatan Jalan (Jarak Aman), akar permasalahannya adalah banyaknya peraturan di jalan raya, tetapi penegakan hukum kurang.
”Alhasil, wibawa hukum tersebut runtuh. Terjadilah perlawanan massal, tidak ada lagi rasa takut tehadap hukum,” ucap Edo.
Editor | : | Azwar Ferdian |
KOMENTAR