Lahan Sirkuit MotoGP Mandalika Masih Kisruh, Warga Dikepung Konflik Tanah

Adi Wira Bhre Anggono - Selasa, 22 September 2020 | 09:50 WIB

Sibah (65) warga yang masih bertahan menyaksikan alat berat yang mengeruk tanahnya paska land clearing dilakukan di tiga titik prioritas di areal sirkuit MotoGP Mandalika Lombok, 13/9/2020 lalu di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika(FITRI R) (Adi Wira Bhre Anggono - )

Otomania.com - Pengosongan tanah untuk kawasan sirkuit MotoGP tahap pertama di areal super prioritas di kawasan Mandalika, NTB, dianggap tuntas.

Satu per satu warga yang masih bertahan harus angkat kaki dari tanah yang mereka klaim milik mereka.

Air mata mereka tumpah di lahan tempat para pembalap kelas dunia itu akan berlaga.

Alat berat mulai berat mengeruk tanah untuk pembangunan lintasan sirkuit.

Saat Kompas.com mendatangi lokasi tersebut, Rabu (16/9/2020), sebagian masyarakat masih kekeh menjaga tanah mereka, terutama yang mengaku memiliki surat dan dokumen resmi.

Sibah alias Inaq Siti (65), menopang kening dengan kedua tangannya. Dia masih tidak percaya tanah seluas 1,6 hektar yang digarapnya selama bertahun tahun bersama suaminya, Masrup, serta anak-anaknya, kini dipenuhi alat berat, mengeruk, dan meratakan lahannya.

"Lelah sekali saya. Sejak dulu saya pertahankan tanah saya, kini mereka ambil," kata Sibah dengan pandangan yang jauh ke lahannya yang dipenuhi truk dan alat berat.

Sibah menepuk dadanya dan mengatakan bahwa dia dan keluarganya ngotot bertahan di tanah itu karena yakin masih merupakan haknya.

Crash.net
Ilustrasi sirkuit Mandalika

Dia menyebut tidak pernah ada proses jual beli yang dilakukan pihak Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC).

"Sejak dulu hanya satu yang saya mau, mereka (ITDC) bayar tanah saya. Saya tidak pandai bahasa Indonesia. Saat saya menuntut dan meminta mereka membayar tanah saya, mereka bilang tak ada bayar atas tanah saya karena sudah dijual, tapi saya tidak pernah menjual tanah saya," ujar Sibah.

"Rp 1.000 pun saya tak pernah rasakan, itulah kenapa saya tetap bertahan meskipun harus berperang dengan para pengusur," kata Sibah dengan suara bergetar dalam bahasa Sasak.

Sibah mengatakan tidak ada penjelasan apapun yang diberikan ITDC padanya. Dia merasa diperlakukan tidak adil.

KOMPAS.COM/FITRI RACHMAWATI
Sibah (65) warga yang masih bertahan menyaksikan alat berat yang mengeruk tanahnya paska land clearing dilakukan di tiga titik prioritas di areal sirkuit MotoGP Mandalika Lombok, 13/9/2020 lalu di Kawasan Ekonkmi Khusus (KEK) Mandalika

Selama tiga hari, 860 personel gabungan TNI-Polri dan Satpol PP Lombok Tengah mengamankan kegiatan land clearing ITDC, pengelola Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Kuta Mandalika.

Kabid Humas Polda NTB Kombes Pol Artanto yang berada di lokasi mengatakan, tahap lertama land clearing dilakukan di tiga titik yang merupakan lokasi prioritas, yaitu lahan Amaq Karim HPL nomor 73, Masrup HPL nomor 76, dan Suhartini HPL nomor 48, dengan total luas 2,5 hektar.

"Semua sudah berhasil kita lakukan. Memang ada upaya menghalangi, tetapi kita berusaha memberi pemahaman agar proses land clearing bisa dilakukan. Seperti di lahan milik Suhartini, mereka mengikhlaskan," kata Artanto.

ITDC disebut membeli pada orang yang sudah meninggal

Hingga Jumat (17/9/2020) keluarga Masrup masih belum bisa menerima kenyataan tanah mereka diambil begitu saja untuk lintasan sirkuit MotoGP.

Sudirman (40), anak kandung Masrup, merinci hak kepemilikan mereka atas tanah seluas 1,6 hektar itu.

Menurutnya, pemilik pertama tanah itu bernama Gowoh. Karena tak punya keturunan, akhirnya ahli warisnya jatuh ke Seratip alias Amaq Kanip. Setelah dimiliki oleh Seratip, tahun 1973 dibeli oleh Gayib alias Amaq Serut.

"Terbitlah pipil garuda tahun 1973 atas nama Amaq Masrup (putra dari Gayib alias Amaq Serut). Bapak saya Masrup memiliki dokumen pipil garuda atas namanya sendiri, bukan nama orang lain," kata Sudirman.

Yang menjadi pertanyaan Sudirman dan keluarganya, bagaimana kemudian ITDC tiba-tiba mengaku memperoleh HPL atas lahan itu atas proses jual beli dengan Gowoh tahun 1993, seluas 1,6 hektar, sementara Gowah telah meninggal dunia tahun 1943.

"Ini yang saya herankan, ITDC mengaku membeli dari Gowah. Bagaimana ITDC mengaku membeli tanah dari orang yang sudah meninggal? Bagaimana Gowah hidup lagi dan jual tanah ke ITDC?" Kata Sudirman.

Saat ini mereka masih menetap di lahan seluas 68 are atau 6.800 meter persegi atas nama Reni (alm) saudara perempuan kakeknya (Gayib).

Dari 68 are itu, hanya 39,5 are yang masuk dalam tanah inclave versi ITDC. Itu artinya keluarga Masrup kehilangan sekitar 1,88 hektar lahan yang merupakan peninggalan kakeknya Gayib, tempat mereka menopang hidup selama puluhan tahun.

Adapun Sibah mengatakan, dirinya sama sekali tidak ada niat menghalangi pembangunan sirkuit. Dia dan keluarganya hanya minta tanah itu dibayar.

"Saya tidak tahu apa itu MotoGP, saya juga tidak mau menghalangi, tapi bayar tanah saya, " katanya.

KOMPAS.COM/IDHAM KHALID
Warga menolak penggusuran di kawasan Sirkuit MotoGP Mandalika karena merasa belum dibayar.

Sibah dan Masrup yang tinggal bersama 20 anggota keluarganya tinggal menunggu waktu angkat kaki dari kawasan itu.

Saat ini mereka masih memilih bertahan, menunggu sisa tanah yang masuk daftar inclave dituntaskan pembayarannya oleh ITDC.

Kandang kambing, sapi, dan kerbau yang dimilikinya dari hasil menanam padi gogo rancah dan tembakau akan dibawa pergi.

Mereka bahkan belum tahu akan dipindahkan kemana jika areal sirkuit sepanjang 4,31 kilometer dan 17 tikungan itu benar-benar harus dikosongkan.

Tanak tolang papuk balok dan perlawanan

Istilah Tanak Tolang Papuk Balok (tanah peninggalan nenek moyang) tampaknya hanya tinggal cerita bagi keluarga ini dan ratusan warga di wilayah Kuta Mandalika yang juga telah kehilangan tanahnya.

Sejak 1998 silam, 1.750 hektar lahan dikuasai LTDC ( Lombok Tourism Development Corporation) sebelum perusahaan pengelola kawasan wisata itu berubah nama menjadi BTDC (Bali Tourism Development Corporation), hingga akhirnya menjadi ITDC.

Yakin tanah itu merupakan tanah mereka, keluarga Masrup berusaha terus menolak pengerjaan.

Sambil menggendong anaknya, Sumi (28), anak perempuan Sibah dan Masrup, menepis tangan para polwan yang memintanya mundur dan tak menghalangi alat berat. Sumi berteriak minta dilepaskan

Perlawanan mereka berhasil menggagalkan land clearing di hari pertama dan kedua. Namun, di hari ketiga pada Minggu (13/9/2020), saat matahari baru muncul, alat berat langsung mengaruk lahan Masrup.

Sibah dan anak-anaknya berlari menghalangi, tetapi langkah mereka diadang puluhan polisi. Mereka ditarik menjauh dari areal yang akan dikeruk dan ratakan oleh alat berat.

Burhanudi, kuasa hukum Masrup mengatakan, Masrup sempat dituduh melakukan tindakan pidana karena penggeregahan atas lahannya sendiri.

Namun, di persidangan pada Februari 2020, dia terbukti tidak bersalah.

"Masrup dinyatakan tidak bersalah atas tuduhan pidana penggeregehan lahannya sendiri. Itu artinya pengadilan mengakui lahan tersebut sebagai milik Masrup, dan land clearing kemarin adalah tindakan sewenang-wenang yang dilakukan aparat. Ada putusan Pengadilan Tinggi Mataram yang menyatakan Masrup tidak bersalah dan berhak atas lahan itu," ujar Burhan, Ketua Lembaga Studi dan Bantuan Hukum (LSBH) Mataram.

Kata Burhan, ITDC tidak bisa memaksa pemilik lahan meninggalkan lahannya karena tidak ada dasar hak dari ITDC.

Apalagi dalam kasus tipiring yang dilaporkan ITDC atas Masrup, ITDC justru kalah di Pengadilan Tinggi Mataram.

"Jadi seharusnya kalau keluarga Masrup mau diusir dari lahannya, ITDC harus menggugat dulu Masrup secara perdata. Jika ITDC menang bisa mengambil alih lahan itu, tapi kalau tidak melakukan gugatan dan langsung melakukan land clearing, itu perbuatan melawan hukum atau perbuatan semena-mena. Dalam persidangan di PT Mataram, Masrup berhasil menunjukkan bukti kepemilikannya," ujar Burhan.

Sementara Ikhsan, pengacara negara yang ditunjuk menjadi kuasa hukum ITDC mengatakan, masyarakat diminta untuk melakukan gugatan jika merasa memiliki bukti sah atas tanah tersebut.

"Wargalah yang mestinya menggugat, bukan ITDC. Jika ada bukti kepemilikan, silakan ke pengadilan mengunggat secara perdata," katanya.

Melalui siaran persnya, ITDC menyebutkan telah menyiapkan lahan hunian sementara seluas lebih kurang 2,5 ha yang berada di HPL 94 milik ITDC, di Desa Mertak, Lombok Tengah.

"Penggunaan lahan milik ITDC ini bersifat pinjam pakai atas dasar surat dari Bupati Lombok Tengah kepada ITDC untuk peminjaman lahan tersebut," Kata Miranti N Rendranti, Corporate Secretary Head ITDC.

Miranti mengatakan, lahan tersebut dipersiapkan bagi sekitar 121 KK yang selama ini menempati area di sekitar Jalan Khusus Kawasan (JKK) The Mandalika, tapi terbukti tidak memiliki surat kepemilikan tanah yang sah sesuai hasil verifikasi

"Masyarakat nanti akan menempati kavling seluas lebih kurang 100 m2 untuk digunakan sebagai tempat tinggal dan untuk menjalankan penghidupannya," kata Miranti.

Masrup tidak sendiri

Selain Masrup, ada Gema Lazuardi yang mengklaim memiliki 60 are atau 6.000 meter persegi lahan yang disebut warga sebagai jantung sirkuit. Ini karena lokasinya merupakan titik start sirkuit.

Lazuardi mengklaim lahannya masuk sebagai lahan inclave, dan harus dibayar sesuai harga jual beli, bukan ganti rugi.

Lazuardi juga mengalami nasib serupa dengan Masrup dilaporkan melakukan tipiring, penggeregahan lahan HPL milik ITDC pada Februari 2020.

Namun, Lazuardi dinyatakan memenangkan perkara atas laporan ITDC di Pengadilan Tinggi Mataram, putusan nomer 15/PID/2020/PT.MTR.

"Saya menang dalam gugatan pidana itu, dan dinyatakan bebas atas tudigan tersebut, " katanya

Lazuardi juga heran mengapa ITDC begitu yakin bisa menguasai lahan miliknya tanpa melakukan pembayaran. Padahal 24 Oktober 2016, ITDC bersurat untuk melakukan penawaran nilai harga tanah incalve tanah miliknya seluas 60 are dengan harga Rp 44.650.000 per are atau total Rp 2,7 miliar untuk seluruh tanah milik Lazuardi.

Surat tersebut ditandatangani I Gst Lanang Bratasuta, selaku Ketua Tim Pembebasan Tanah Inclave.

Surat yang menguatkan mereka juga adanya surat Sekretaris Daerah (Setda) NTB nomor 120/320/Pem/2018, tanggal 29 Oktober 2018 yang ditandatangani Rosiady Husaenei Sayuti selaku Setda NTB, tentang penyelesaian tanah masyarakat di KEK Mandalika.

Surat Setda tersebut merujuk pada surat Gubernur NTB, Zainul Majedi (TGB), 17 Juli 2018 tekait penyelesaian lahan tersebut.

Dalam surat tersebut tertulis secara rinci 49 nama pemilik lahan dengan luas 98 hektar, tremasuk bukti bukti kepemilikan mereka. Nama masrup dan Gema Lazuardi masuk dalam surat tersebut.

Belakangan pihak ITDC justru tidak mengakui surat yang ditandatangani Setda itu, dan mendorong Pemerintah Daerah NTB menganulir surat tersebut.

Terkait hal itu, Miranti yang dikonfirmasi, Kamis (17/9/2020) memberi jawaban tertulis.

Dikatakannya, mengenai lahan Masrup dan Gema Lazuardi, jika memang mereka merasa memiliki bukti-bukti yang kuat, silakan diajukan gugatan di pengadilan.

Dalam hal ini ITDC sudah memiliki sertifikat HPL yang dikeluarkan oleh BPN pada lahan yang diklaim oleh Masrup dan Gema Lazuardi.

"Sehingga untuk membuktikan apakah bukti-bukti yang dimiliki oleh Masrup dan Gema Lazuardi adalah sah di mata hukum dan atau siapa yg lebih berhak memiliki lahan dimaksud, harus dibuktikan di pengadilan," kata Miranti.

Terkait surat setda yang disebut warga sebagai SK Gubernur, Miranti mengatakan surat dari Sekda Provinsi NTB pada akhir tahun 2018 yang lalu, yang intinya menyampaikan tentang penyelesaian permasalahan lahan enclave di dalam KEK Mandalika.

"Surat dimaksud sudah kami jawab dengan memberikan penjelasan, pada intinya bahwa dari 49 lahan yang dianggap sebagai lahan enclave di dalam surat Sekda Prov NTB tersebut, hanya ada satu lahan yang masuk dalam kategori enclave dan dapat diberikan penggantian kerugian. Sepanjang bukti-buktinya lengkap dan tidak tumpang tindih dengan lahan HPL ITDC," ungkapnya.

Sengketa lahan sirkuit MotoGP masih belum menelurkan solusi. Warga masih menuntut hak mereka atas tanah yang belum dibayar.

Sebagian warga merelakan tanah mereka dengan janjiakan dibayar oleh pihak ITDC setelah mereka mengajukan keberatan ke pengadilan, termasuk penyelesaian tanah inclave.

Kabid Humas Polda NTB Artanto mendapat informasi dari tim verifikasi ITDC, bahwa ITDC mengakui ada 42 warga yang lahannya termasuk lahan inclave yang akan diselesikan denfan proses jual beli, prosesnya akan dilakukan secara bertahap.

"Sementara ini baru sembilan yang telah terdaftar, dengan rincian lahan seluas 16,9 hektar dan dana yang akan ditransfer ke Pengadilan Negeri Praya sebesar Rp 16,9 miliar," kata Artanto.

Alasan ITDC lakukan land clearing

Managing Director ITDC, I Wayan Karioka menjelaskan, alasan kuat ITDC melakukan land clearing karena proses pembangunan sirkuit yang sangat mendesak dan tidak bisa ditunda, terutama proses pengaspalan landasan sirkuit.

Pengaspalan akan dilakukan Januari 2021, karena di bulan Oktober MotoGP akan digelar.

"Target dari pembangunan MotoGP ini tidak boleh mundur. Keputusan pemerintah pada Oktober tahun depan (2021) harus dilaksanakan even MotoGP di Mandalika ini," jelas Karioka.

Pengerjaan sirkuit sepanjang 4,31 kilometer dengan 17 lintasan menurutnya sudah mencapai 70 persen dan di tiga titik.

Pengaspalan sirkuit MotoGP berbeda dengan pengaspalan biaya, tidak boleh putus sepanjang 4,31 kilometer, dan tidak boleh ada sambungan.

"Karena itulan land clearing harus dilakukan. Semua masalah lahan sudah harus clear dulu, baru kita bisa melakukan pengaspalan, tidak boleh ada gangguan," katanya.

Ditargetkan pada Juni 2021 pengerjaan sirkuit sudah selesai, karena pada Juli sampai September, pihak Dorna Sports akan mengecek kondisi sirkuit.

Artikel ini telah tayang pertama kali di Kompas.com dengan judul "Kisruh Lahan Sirkuit MotoGP Mandalika, Warga yang Bertahan dan Mereka yang Terus Membangun".