Dia menyebut tidak pernah ada proses jual beli yang dilakukan pihak Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC).
"Sejak dulu hanya satu yang saya mau, mereka (ITDC) bayar tanah saya. Saya tidak pandai bahasa Indonesia. Saat saya menuntut dan meminta mereka membayar tanah saya, mereka bilang tak ada bayar atas tanah saya karena sudah dijual, tapi saya tidak pernah menjual tanah saya," ujar Sibah.
"Rp 1.000 pun saya tak pernah rasakan, itulah kenapa saya tetap bertahan meskipun harus berperang dengan para pengusur," kata Sibah dengan suara bergetar dalam bahasa Sasak.
Sibah mengatakan tidak ada penjelasan apapun yang diberikan ITDC padanya. Dia merasa diperlakukan tidak adil.
Selama tiga hari, 860 personel gabungan TNI-Polri dan Satpol PP Lombok Tengah mengamankan kegiatan land clearing ITDC, pengelola Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Kuta Mandalika.
Kabid Humas Polda NTB Kombes Pol Artanto yang berada di lokasi mengatakan, tahap lertama land clearing dilakukan di tiga titik yang merupakan lokasi prioritas, yaitu lahan Amaq Karim HPL nomor 73, Masrup HPL nomor 76, dan Suhartini HPL nomor 48, dengan total luas 2,5 hektar.
"Semua sudah berhasil kita lakukan. Memang ada upaya menghalangi, tetapi kita berusaha memberi pemahaman agar proses land clearing bisa dilakukan. Seperti di lahan milik Suhartini, mereka mengikhlaskan," kata Artanto.
ITDC disebut membeli pada orang yang sudah meninggal
Hingga Jumat (17/9/2020) keluarga Masrup masih belum bisa menerima kenyataan tanah mereka diambil begitu saja untuk lintasan sirkuit MotoGP.
Sudirman (40), anak kandung Masrup, merinci hak kepemilikan mereka atas tanah seluas 1,6 hektar itu.
Menurutnya, pemilik pertama tanah itu bernama Gowoh. Karena tak punya keturunan, akhirnya ahli warisnya jatuh ke Seratip alias Amaq Kanip. Setelah dimiliki oleh Seratip, tahun 1973 dibeli oleh Gayib alias Amaq Serut.
"Terbitlah pipil garuda tahun 1973 atas nama Amaq Masrup (putra dari Gayib alias Amaq Serut). Bapak saya Masrup memiliki dokumen pipil garuda atas namanya sendiri, bukan nama orang lain," kata Sudirman.
Yang menjadi pertanyaan Sudirman dan keluarganya, bagaimana kemudian ITDC tiba-tiba mengaku memperoleh HPL atas lahan itu atas proses jual beli dengan Gowoh tahun 1993, seluas 1,6 hektar, sementara Gowah telah meninggal dunia tahun 1943.