Otomania.com - Sebuah unggahan di media sosial yang mempertanyakan mengapa jalanan di pegunungan tidak dibuat lurus dan harus berkelok, ramai dibicarakan.
Unggahan tersebut salah satunya di bagikan oleh akun Facebook Romansa Sopir Truck pada Rabu (12/8/2020).
Dalam unggahannya, terdapat beberapa gambar jalanan di pegunungan yang tampak berkelok.
Dalam foto itu terlihat ada garis lurus berwarna merah dan menanyakan mengapa jalanan tersebut tidak dibuat lurus seperti garis tersebut.
Hingga berita ini diturunkan, unggahan tersebut telah disukai lebih dari 200 kali dan mendapat beragam respons dari warganet.
Baca Juga: Ridwan Kamil Contek Pagar Pembatas Jalan Korea Selatan, Kurangi Risiko Masuk Jurang
Komentar yang disampaikan pun beragam. Ada yang menyebutkan, jika dibuat jalan lurus, akan membahayakan pengguna jalan.
Adakah penjelasan secara ilmiah soal ini?
Mengurangi kelandaian
Dosen Teknik Sipil Universitas Diponegoro Asri Nurdiana menjelaskan, ada alasan ilmiah mengapa jalan di pegunungan dibuat berkelok dan tidak lurus.
Asri menyebut, hal tersebut bertujuan untuk mengurangi persentase kelandaian jalan.
Kelandaian tersebut berarti kemiringan jalan. Asri mengibaratkan jika pada suatu jalan terdapat turunan tajam, maka kelandaiannya besar.
"Bina Marga memberikan acuan, dalam perencanaan suatu jalan, idealnya kelandaian maksimum tidak lebih dari 10 persen. Artinya jalan tidak layak apabila direncanakan dengan tanjakan atau turunan yang tajam," ujar Asri dilansir dari Kompas.com, Kamis (13/8/2020).
Baca Juga: Jadi Kontorversi, Ada Yang Jelaskan Kenapa Jalan Tol Enggak Dibuat Lurus Tapi Berkelok
Selain itu, lanjut Asri, Bina Marga juga memberikan acuan panjang kritis kelandaian.
Jika jalan tersebut direncanakan dengan kelandaian 10 persen, maka panjang kritis maksimumnya adalah 200 meter.
Setelah panjang tersebut, maka jalan harus diturunkan kelandaiannya dengan pertimbangan semua kendaraan dapat melintas dengan aman dan nyaman.
"Perencanaan ini tergantung dari klasifikasi kelas jalan dan kecepatan rencana jalan tersebut.
Jadi kalau di pegunungan, jalan direncanakan lurus dari atas sampai bawah, maka bisa jadi jalan tersebut tidak memenuhi kaidah teknis perencanaan untuk kelandaian maksimum dan panjang kritis kelandaian yang sudah ditetapkan oleh Bina Marga," papar Asri.
Dampaknya, bisa jadi kendaraan yang bermuatan akan kehilangan tenaga ketika menanjak, atau rem blong ketika di turunan.
Kedepankan isu keselamatan
Pengamat transportasi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Imam Muthohar mengatakan, pada perancangan geometrik suatu jalan, yang dikedepankan adalah isu keselamatan.
Oleh karena itu, jalan yang dibangun harus mampu melindungi para penggunanya.
"Pada saat memulai desain perlu diperhatikan aspek alinemen horisontal atau desain jalan lurus dan tikungan dan aspek alinemen vertikal desain kelandaian naik dan turun," ujar Imam, saat dihubngi secara terpisah, Kamis (13/8/2020).
Ia menjelaskan, masing-masing memiliki standar teknis dan aturan yang harus dipenuhi untuk memenuhi keselamatan dan kenyamanan dalam berkendara di jalan.
Baca Juga: Petualangan Ekstrem Darius dan Donna Riding di Pegunungan Himalaya, Sempat Nyasar
Jika dalam rencana pembuatan jalur melewati daerah yang relatif datar, maka perancangan atau desain jalan relatif mudah dan tidak banyak kendala yang dihadapi.
"Artinya, bentuk geometrik jalan bisa lurus dan tikungan. Bisa dengan jari-jari besar yang memungkinkan kendaraan melaju dengan kecepatan tinggi bisa sampai 100 kilometer per jam.
Contoh pada jalan tol atau jalan nasional dengan fungsi arteri primer," kata Imam.
Sementara itu, jika trase jalan melewati daerah pegunungan atau berbukit yang kelandaiannya cukup ekstrem, maka perancangan atau jalannya menjadi semakin kompleks.
Baca Juga: Daihatsu Sigra Berdecit dan Ngebul Lewati Tanjakan, Salah Sopir atau Mobil?
Dibuat berkelok agar penuhi syarat maksimal kelandaian
Imam menekankan, perlu kehati-hatian dalam melihat kendala yang ada di lapangan tersebut.
"Perhatian utama ada pada aturan alinemen vertikal di mana maksimal kelandaian atau kemiringan adalah 10 persen untuk semua kasus di Indonesia.
Kelandaian dihitung dari selisih beda tinggi (awal dan akhir jalan) dibagi dengan panjang jalan," papar Imam.
Dengan demikian, jika di daerah perbukitan atau pegunungan dibuat jalan lurus, maka tidak akan memenuhi syarat maksimal kelandaian.
Oleh karena itu, jalan didesain berkelok untuk memenuhi syarat tersebut. Hal ini, lanjut Imam, berimplikasi pada desain kecepatan yang diberlakukan.
"Ingat, karena jalan berkelok, maka jari-jari tikungan relatif kecil sehingga kecepatannya pun akan mengikuti dengan desain kecepatan rendah, maksimal 40 kilometer per jam," kata Imam.
"Menjawab pertanyaan mengapa jalan di pegunungan tidak lurus, argumennya adalah isu keselamatan pengguna," tambah dia.
Menurut Imam, jalan lurus dengan kelandaian lebih dari 10 persen akan membahayakan pengguna.
Dengan kata lain, akan menjadi daerah rawan kecelakaan apalagi ada kendaraan berat yang melewati jalan tersebut.
Selain itu, dengan jalan berkelok-kelok mengikuti kontur bukit atau kemiringan lereng, maka aspek kenyamanan akan sangat berkurang karena harus mengendarai dengan hati-hati penuh konsentrasi selama melewati area tersebut.
"Namun demikian, pada area-area tertentu 'lurusan jalan' bisa dibuat dengan tetap memperhatikan aturan alinemen vertikal dan horisontal," jelas Imam.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Ramai di Media Sosial, Kenapa Jalan di Pegunungan Dibuat Berkelok? Ini Penjelasan Ilmiahnya".