Contoh pada jalan tol atau jalan nasional dengan fungsi arteri primer," kata Imam.
Sementara itu, jika trase jalan melewati daerah pegunungan atau berbukit yang kelandaiannya cukup ekstrem, maka perancangan atau jalannya menjadi semakin kompleks.
Baca Juga: Daihatsu Sigra Berdecit dan Ngebul Lewati Tanjakan, Salah Sopir atau Mobil?
Dibuat berkelok agar penuhi syarat maksimal kelandaian
Imam menekankan, perlu kehati-hatian dalam melihat kendala yang ada di lapangan tersebut.
"Perhatian utama ada pada aturan alinemen vertikal di mana maksimal kelandaian atau kemiringan adalah 10 persen untuk semua kasus di Indonesia.
Kelandaian dihitung dari selisih beda tinggi (awal dan akhir jalan) dibagi dengan panjang jalan," papar Imam.
Dengan demikian, jika di daerah perbukitan atau pegunungan dibuat jalan lurus, maka tidak akan memenuhi syarat maksimal kelandaian.
Oleh karena itu, jalan didesain berkelok untuk memenuhi syarat tersebut. Hal ini, lanjut Imam, berimplikasi pada desain kecepatan yang diberlakukan.
"Ingat, karena jalan berkelok, maka jari-jari tikungan relatif kecil sehingga kecepatannya pun akan mengikuti dengan desain kecepatan rendah, maksimal 40 kilometer per jam," kata Imam.
"Menjawab pertanyaan mengapa jalan di pegunungan tidak lurus, argumennya adalah isu keselamatan pengguna," tambah dia.
Menurut Imam, jalan lurus dengan kelandaian lebih dari 10 persen akan membahayakan pengguna.
Dengan kata lain, akan menjadi daerah rawan kecelakaan apalagi ada kendaraan berat yang melewati jalan tersebut.
Selain itu, dengan jalan berkelok-kelok mengikuti kontur bukit atau kemiringan lereng, maka aspek kenyamanan akan sangat berkurang karena harus mengendarai dengan hati-hati penuh konsentrasi selama melewati area tersebut.
"Namun demikian, pada area-area tertentu 'lurusan jalan' bisa dibuat dengan tetap memperhatikan aturan alinemen vertikal dan horisontal," jelas Imam.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Ramai di Media Sosial, Kenapa Jalan di Pegunungan Dibuat Berkelok? Ini Penjelasan Ilmiahnya".