Protes Keras Kenaikan Tarif Surat Kendaraan

Febri Ardani Saragih - Jumat, 6 Januari 2017 | 07:05 WIB

(Febri Ardani Saragih - )

Jakarta, Otomania – Kenaikan tarif kepengurusan surat-surat kendaraan dapat protes keras lagi. Sebelumnya, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sudah mempertanyakan sikap pemerintah, kali ini nada yang sama dilontarkan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Indonesian Tax Care (Intac), Institute for Development of Economics and Finance (Indef), dan  advokat Prorakyat.

Kenaikan tarif itu terdapat pada Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2016 tentang Jenis dan Tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Pemberlakuannya dilakukan pada 6 Januari 2017 dan sudah menyebabkan antrean panjang masyarakat yang terburu-buru ingin mengurus surat kendaraan di Samsat.

Menurut catatan Fitra, kenaikan tarif tidak sesuai dengan kualitas layanan kepengurusan Surat Izin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK), dan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB). Dirasa sampai saat ini layanan itu masih rumit, boros waktu, serta tidak transparan dalam proses dan hasilnya.

Fitra juga mengangkat temuan kekurangan penerimaan negara mencapai sekitar Rp 270 miliar dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan pada 2015.

“Ada Rp 270 miliar potensi PNBP yang belum masuk ke negara karena masalah di Samsat di seluruh Polres di Indonesia. Pembayaran ke bank terlambat, kemudian dana itu kemana enggak tahu. Pengelolaannya jadi masalah tersendiri,” kata Apung Widadi Manajer Advokasi Fitra dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (5/1/2017).

“Saya menduga negara saat ini sedang butuh uang untuk pembiayaan infrastruktur makanya kemudian banyak sekali kado pahit awal tahun. Kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM), Bea Balik Nama (BBN), kemudian tarif ini. Ini kado yang sangat pahit untuk rakyat,” ucap Apung lagi.

Cacat administrasi

Yenny Sucipto, Sekjen Fitra, menambahkan kritikan tentang penerbitan PP No. 60 Tahun 2016. Dicurigai, PP ini tidak menjadi bagian yang dibicarakan secara substansi di internal pemerintahan. Jika benar maka hal itu merupakan bukti ada koordinasi yang tidak baik dalam melahirkan produk kebijakan oleh pemerintah.

“Tidak ada koordinasi di kepolisian sebagai institusi yang diberi kewenangan menjaring PNBP. Ini menjadi pembuktian ada internalisasi yang tidak baik di pemerintahan dalam koordinasi melahirkan produk kebijakan,” jelas Yenny.

“Kami menilai kalaupun PP sudah diundangkan, karena kami tidak pernah melihat ada naskah akademis pertama dan tidak pernah diuji publik, PP ini bisa cacat secara administrasi,” kata Yenny.

Tidak adil buat rakyat

Pemerintah belakangan ini dinilai sangat sporadis dalam membuat kebijakan menurut Basuki Widodo Direktur Intac. Dampaknya merugikan masyarakat yang pada saat bersamaan mendapat tekanan hidup dari kenaikan biaya pokok, kesehatan, pendidikan, dan yang lainnya.

“Menurut saya ini sangat tidak adil, karena di kepolisian sendiri kita lihat bagaimana pelayanan itu masih buruk. Bagaimmana ada uang-uang yang diberikan kepada oknum supaya antrean dipercepat. Pungutan terus berjalan. Hal itu yang seharusnya diperbaiki pemerintah bukan menaikan tarif apalagi sampai 300 persen,” ucap Basuki.

Dia mengatakan lagi perlu ada transparansi dari pemerintah atas dasar kenaikan tarif. “Pajak kendaraan bermotor harus dievaluasi. Sangat memberatkan terutama buat masyarakat yang sudah menanggung beban hidup sangat tinggi,” papar Basuki.

Penjualan mobil dan motor turun

Kenaikan tarif kepengurusan akhirnya naik pada tahun ini setelah bertahan selama tujuh tahun. Menurut Peneliti Indef Nailul Huda kenaikan seharusnya bertahap, bukan tiba-tiba langsung melonjak sangat signifikan. Apalagi jika tidak diikuti peningkatan kualitas pelayanan.

“Apabila ada tarif tapi peningkatan itu stuck maka konsumen atau penguna kendaraan akan merasa tidak ada nilai tambah dari kenaikan, itu akan menjadi kerugian,” ujar Nailul.

Nailul berpendapat ada potensi kenaikan tarif itu untuk menutupi berkurangnya jumlah kepemilikan kendaraan bermotor baru. Selama beberapa tahun ke belakang memang penjualan mobil dan sepeda motor di Indonesia terekam menurun, otomatis pendapatan negara juga berkurang dari biasanya.

Menurut prediksi Gabungan Industri Kendaraan Bermotor (Gaikindo), penjualan mobil saat ini hanya berkisar 1 juta unit sedangkan sepeda motor sekitar 6 juta unit dari perkiraan Asosiasi Sepedamotor Indonesia (AISI).

Kenyataannya lebih dari tarif

Advokat Prorakyat Riesqi Rahmadiansyah mengatakan respons terhadap PP No. 60 Tahun 2016 bisa dilakukan sampai pembatalan lewat Judicial Review di Mahkamah Agung. Landasannya sebab banyak pertanyaan tentang dasar pembuatan dan penerbitan aturan tersebut.

Soal kenaikan tariff, Riesqi menjelaskan implikasinya akan memberatkan masyarakat sebab menurutnya perbandingan biaya mengurus surat-surat kendaraan bermotor pada aturan tertulis dengan proses nyata bisa sangat jauh berbeda..

“Setiap yang diatur di dalam PP itu biasanya tidak pernah diterapkan. Contoh, di PP PNBP (lama) tentang surat kuasa itu biasanya bayar goceng (Rp 5.000) tapi kalau kita bayar segitu tidak akan dilayani. Jadi memang pada dasarnya PP ini cuma tulisan hiasan doang, prakteknya tidak seperti itu.

“Terkait STNK bisa ditanya ke agen pembuatan STNK. Kalau di aturan tertulis Rp 50.000 saya pasti jamin mereka bayar pasti lebih dari Rp 300.000. Ini yang mesti kita lihat bagaimana mekanisme kontrol terhadap peraturan itu,” beber Riesqi.