Pemerintah belakangan ini dinilai sangat sporadis dalam membuat kebijakan menurut Basuki Widodo Direktur Intac. Dampaknya merugikan masyarakat yang pada saat bersamaan mendapat tekanan hidup dari kenaikan biaya pokok, kesehatan, pendidikan, dan yang lainnya.
“Menurut saya ini sangat tidak adil, karena di kepolisian sendiri kita lihat bagaimana pelayanan itu masih buruk. Bagaimmana ada uang-uang yang diberikan kepada oknum supaya antrean dipercepat. Pungutan terus berjalan. Hal itu yang seharusnya diperbaiki pemerintah bukan menaikan tarif apalagi sampai 300 persen,” ucap Basuki.
Dia mengatakan lagi perlu ada transparansi dari pemerintah atas dasar kenaikan tarif. “Pajak kendaraan bermotor harus dievaluasi. Sangat memberatkan terutama buat masyarakat yang sudah menanggung beban hidup sangat tinggi,” papar Basuki.
Penjualan mobil dan motor turun
Kenaikan tarif kepengurusan akhirnya naik pada tahun ini setelah bertahan selama tujuh tahun. Menurut Peneliti Indef Nailul Huda kenaikan seharusnya bertahap, bukan tiba-tiba langsung melonjak sangat signifikan. Apalagi jika tidak diikuti peningkatan kualitas pelayanan.
“Apabila ada tarif tapi peningkatan itu stuck maka konsumen atau penguna kendaraan akan merasa tidak ada nilai tambah dari kenaikan, itu akan menjadi kerugian,” ujar Nailul.
Nailul berpendapat ada potensi kenaikan tarif itu untuk menutupi berkurangnya jumlah kepemilikan kendaraan bermotor baru. Selama beberapa tahun ke belakang memang penjualan mobil dan sepeda motor di Indonesia terekam menurun, otomatis pendapatan negara juga berkurang dari biasanya.
Menurut prediksi Gabungan Industri Kendaraan Bermotor (Gaikindo), penjualan mobil saat ini hanya berkisar 1 juta unit sedangkan sepeda motor sekitar 6 juta unit dari perkiraan Asosiasi Sepedamotor Indonesia (AISI).
Kenyataannya lebih dari tarif
Advokat Prorakyat Riesqi Rahmadiansyah mengatakan respons terhadap PP No. 60 Tahun 2016 bisa dilakukan sampai pembatalan lewat Judicial Review di Mahkamah Agung. Landasannya sebab banyak pertanyaan tentang dasar pembuatan dan penerbitan aturan tersebut.
Soal kenaikan tariff, Riesqi menjelaskan implikasinya akan memberatkan masyarakat sebab menurutnya perbandingan biaya mengurus surat-surat kendaraan bermotor pada aturan tertulis dengan proses nyata bisa sangat jauh berbeda..
“Setiap yang diatur di dalam PP itu biasanya tidak pernah diterapkan. Contoh, di PP PNBP (lama) tentang surat kuasa itu biasanya bayar goceng (Rp 5.000) tapi kalau kita bayar segitu tidak akan dilayani. Jadi memang pada dasarnya PP ini cuma tulisan hiasan doang, prakteknya tidak seperti itu.
“Terkait STNK bisa ditanya ke agen pembuatan STNK. Kalau di aturan tertulis Rp 50.000 saya pasti jamin mereka bayar pasti lebih dari Rp 300.000. Ini yang mesti kita lihat bagaimana mekanisme kontrol terhadap peraturan itu,” beber Riesqi.