Jakarta, Otomania – Kenaikan tarif kepengurusan surat-surat kendaraan dapat protes keras lagi. Sebelumnya, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sudah mempertanyakan sikap pemerintah, kali ini nada yang sama dilontarkan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Indonesian Tax Care (Intac), Institute for Development of Economics and Finance (Indef), dan advokat Prorakyat.
Kenaikan tarif itu terdapat pada Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2016 tentang Jenis dan Tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Pemberlakuannya dilakukan pada 6 Januari 2017 dan sudah menyebabkan antrean panjang masyarakat yang terburu-buru ingin mengurus surat kendaraan di Samsat.
Menurut catatan Fitra, kenaikan tarif tidak sesuai dengan kualitas layanan kepengurusan Surat Izin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK), dan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB). Dirasa sampai saat ini layanan itu masih rumit, boros waktu, serta tidak transparan dalam proses dan hasilnya.
Fitra juga mengangkat temuan kekurangan penerimaan negara mencapai sekitar Rp 270 miliar dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan pada 2015.
“Ada Rp 270 miliar potensi PNBP yang belum masuk ke negara karena masalah di Samsat di seluruh Polres di Indonesia. Pembayaran ke bank terlambat, kemudian dana itu kemana enggak tahu. Pengelolaannya jadi masalah tersendiri,” kata Apung Widadi Manajer Advokasi Fitra dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (5/1/2017).
“Saya menduga negara saat ini sedang butuh uang untuk pembiayaan infrastruktur makanya kemudian banyak sekali kado pahit awal tahun. Kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM), Bea Balik Nama (BBN), kemudian tarif ini. Ini kado yang sangat pahit untuk rakyat,” ucap Apung lagi.
Cacat administrasi
Yenny Sucipto, Sekjen Fitra, menambahkan kritikan tentang penerbitan PP No. 60 Tahun 2016. Dicurigai, PP ini tidak menjadi bagian yang dibicarakan secara substansi di internal pemerintahan. Jika benar maka hal itu merupakan bukti ada koordinasi yang tidak baik dalam melahirkan produk kebijakan oleh pemerintah.
“Tidak ada koordinasi di kepolisian sebagai institusi yang diberi kewenangan menjaring PNBP. Ini menjadi pembuktian ada internalisasi yang tidak baik di pemerintahan dalam koordinasi melahirkan produk kebijakan,” jelas Yenny.
“Kami menilai kalaupun PP sudah diundangkan, karena kami tidak pernah melihat ada naskah akademis pertama dan tidak pernah diuji publik, PP ini bisa cacat secara administrasi,” kata Yenny.
Tidak adil buat rakyat