Otomania.com - Untuk menjawab kebutuhan konsumen, PT Toyota Astra Financial Services (TAF) sejak tahun 2013 membuka produk pembiayaan syariah.
Mengingat banyak juga diantara masyarakat yang kini menghendaki pembelian kendaraan yang dilandasi oleh syariah islam.
Lantas, apa yang membedakan pembelian secara syariah dengan konvensional di perusahaan pembiayaan resmi Toyota tersebut?
Tri Wahyudi, Business Unit Head TAF Syariah mengungkapkan, berbeda dengan sistem pembiayaan konvensional, TAF Syariah tidak hanya disahkan oleh BI (Bank Indonesia dan OJK (Otoritas Jasa Keuangan) saja.
(BACA JUGA: Ngebet Mercy C200 W203 Seken, Harga Sudah Kisaran Rp 100 Jutaan)
Melainkan juga harus mendapatkan sertifikasi halal, yang disahkan oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia).
"Karena perbedaan prinsip, yang satu jual beli (konvensional), yang satunya lagi tolong menolong (Syariah)," ujar Wahyudi saat ditemui di kawasan Setiabudi, Jakarta Selatan, Kamis (22/11/2018).
Tidak ada perbedaan dalam mekanisme pengajuan kredit antara produk TAF syariah dengan konvensionalnya.
Hanya saja, sumber penghasilan atau dana dari calon nasabah sangat diperhatikan jika ingin mengajukan kredit di TAF Syariah.
(BACA JUGA: Pertama Kali Besut Moto2 Mesin Triumph, Dimas Ekky Bikin Kejutan)
"Calon nasabah tidak boleh memiliki penghasilan atau punya usaha yang haram, seperti usaha jual-beli babi, melanggar asusila hukum, dan unsur perjudian," ucap Wahyudi.
"Begitu ketahuan melanggar, kami langsung alihkan dan cari leasing yang lain," imbuhnya.
Wahyudi menambahkan, produk dari perusahaan pembiayaan resmi Toyota berbasis Syariah tersebut berdasarkan prinsip akad Murabahah.
Sebuah prinisip pengadaan suatu barang yang dilakukan dengan mekanisme jual-beli.
Dengan menegaskan harga beli (harga perolehan) kepada pembeli, dan pembeli membayar dengan harga lebih sebagai margin (keuntungan).
(BACA JUGA: Mengenaskan, Jambret Gagal Malah Jatuh Dari Motor Tewas Terlindas)
"Sesuai tagline kami 'tenteram dalam bertransaksi', nasabah benar-benar bisa mengatur pengeluarannya karena cicilannya fix margin," kata Wahyudi seraya menjelaskan.
"Tidak ada perubahan di tengah jalan, marginnya sudah disepakati enggak boleh berubah, haram kalau berubah," tambahnya.
Selain itu, yang membedakan antara produk syariah dan konvensionalnya ada pada mekanisme tagihan keterlambatan cicilan.
"Kalau syariah ada dua, ta'widh dan ta'zir. Kami tidak boleh mengambil margin dari keterlambatan pembayaran," ujar Wahyudi lagi.
"Kalau ta'widh itu mendisiplinkan dengan denda sebesar Rp 20 ribu yang akan masuk sebagai dana sosial, kemudian ta'widh sebagai ganti rugi atas keterlambatan pembayaran tagihan," tutupnya.
Editor | : | Indra Aditya |
Sumber | : | GridOto.com |
KOMENTAR