Jakarta, Otomania – Perdebatan antara sopir taksi dan Petugas Kepolisian yang sampai terekam kamera, seharusnya tidak terjadi. Jika masing-masing pihak, khususnya pengguna jalan dan petugas penegak hukum, paham akan apa yang dilakukannya.
Profesor Leksmono Suryo Putranto, Guru Besar Fakultas Teknik Bidang Transportasi Universitas Tarumanegara yang juga sebagai Head of Road Transport Accident Investigation menyampaikan, dirinya coba memandang tidak dari sisi hukum. Namun lebih berdasarkan pada rekayasa lalu lintas.
“Menurut rekayasa lalu lintas, kendaraan yang berhenti tidak pada tempatnya, akan mengurangi lebar efektif jalan, yang pada akhirnya menyebabkan berkurangnya kapasitas jalan,” ujar Prof Leksmono kepada Otomania, Senin (25/1/2016).
Lekmono melanjutkan, jika begitu, makin lama waktu berhenti suatu kendaraan, maka akan semakin menganggu kelancaran dan keselamatan lalu lintas. Hal tersebut seperti yang dilakukan sopir taksi.
Sementara untuk petugas kepolisian sendiri, sebaiknya tidak langsung melakukan penindakan tilang kepada sang sopir. Tapi sekedar memberik teguran saja.
“Petugas juga seharusnya tidak langsung melakukan tindakan, dengan menilang, namun hanya memberikan penjelasan dampak dari perbuatan sopir tersebut. Dengan demikian sopir tidak bisa mendebat polisi seperti di dalam video tersebut,” ujar Leksmono
Tak berhenti sembarang tempat
Edo Rusyanto, Koordinator Jaringan Aksi Keselamatan Jalan (Jarak Aman) mengatakan, ada dua hal penting yang bisa jadi pelajaran dari kasus ini. Pertama, Dinas Perhubungan yang menyediakan rambu, harus tepat dan cermat dalam pemasangan rambu, sehingga pengemudi bisa jelas membaca perintah yang harus dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan di jalan.
“Poin penting kedua, memang kalau seseorang berhenti, entah itu pengemudi pribadi atau angkutan umum, dalam hal ini sopir taksi, eloknya tidak mengganggu arus lalu lintas jalan,” ujar Edo.
Editor | : | Azwar Ferdian |
KOMENTAR