Begini Rasanya Bekerja di Tim Balap F1

Setyo Adi Nugroho - Minggu, 22 Januari 2017 | 13:01 WIB

Suasana kantor Toro Rosso (Setyo Adi Nugroho - )

Jakarta, Otomania – Bekerja di dunia balap, terlebih Formula 1, menjadi impian banyak orang. Salah satu pemuda Indonesia, Stephanus Widjanarko, cukup beruntung merasakan pengalaman ini.

Sejak 2013 hingga sekarang, Stephanus menjadi aerodynamicist di tim Scuderia Toro Rosso. Bekerja di dunia yang jarang dinikmati orang Indonesia ini dirasakan cukup menantang oleh Stephanus.

Ketika dirinya masuk pertama kali balapan musim 2013 telah berjalan. Tugas pertamanya sebagai junior CFD Aerodinamic ketika itu adalah mempersiapkan mobil untuk balapan di Barcelona.

“Saat itu balapan sudah mulai, saya ditugaskan mulai bekerja untuk balapan di Barcelona. Di tim seperti Toro Rosso, development car berjalan bersama saat musim balapan berjalan. Di sisi lain ada tim yang juga mempersiapkan mobil konsep,” ucap Tephie, panggilan Stephanus saat ditemui Otomania beberapa waktu lalu.

Untuk satu musim biasanya tim kecil mempersiapkan dana 70 juta sampai 80 juta dollar AS untuk pengembangan aero mobil. Tim besar bahkan bisa 500 juta dollar AS, sedangkan tim menengah seperti Toro Rosso sekitar 140 juta sampai 150 juta dollar AS.

Istimewa
Suasana kantor Toro Rosso

Tugasnya di tim pengembangan biasanya dimulai setelah regulasi musim kompetisi tahun depan diumumkan oleh FIA. Pada akhir musim balap sampai Februari sebelum musim balapan selanjutnya dimulai adalah saat-saat paling sibuk di tim aerodinamika.

Tephie juga bercerita, proses pembuatan paket aero mobil dilakukan setelah berkonsultasi dengan tim desain mobil keseluruhan. Di bagian ini biasanya masing-masing divisi saling ngotot mempertahankan desainnya.

“Jadi kalau kami di aero semakin desainnya kecil, semakin suka. Jadi dibuang-buang saja. Tapi biasanya diprotes sama tim desain office. Dibuat lagi, lakukan percobaan lagi,” ucap Tephie.

Istimewa
Pengembangan aerodinamika tim Scuderia Toro Rosso

Dalam masa pengembangan ini juga, masing-masing tim di balapan Formula 1 berusaha menerjemahkan regulasi terbaru FIA. Saat inilah kepintaran tim desain untuk mencari celah dari regulasi yang paling menentukan.

Tephie mencontohkan kasus desain double decker sayap belakang yang digunakan Brawn GP di musim 2009. Ini berkat kejelian tim desain, yang bisa melihat kekurangan kata dari regulasi FIA, hingga memanfaatkannya jadi desain.

Setelah beberapa tahun berkecimpung di duna Formula 1, Tephie mengaku menikmati pekerjaan yang tidak pernah diimpikanya ini. Menurutnya bekerja di F1 cukup dinamis dan menantang, meski tekanannya cukup tinggi.

“Teknologi di F1 hampir mirip dengan pesawat, namun lebih dinamis. Kalau di pesawat, teknologi 10 tahun lalu masih dipakai, proses hidupnya lama. Kalau F1 lebih menantang,” ucap Tephie.

Saat ini Tephie menetap di Bicester, Oxfordshire, tempat dimana kantor desain tim Toro Rosso berada. Ia merupakan salah satu dari ratusan pekerja dari berbagai negara, di tim yang di musim 2016 lalu menempati posisi ke tujuh di klasemen konstruktor.

Istimewa
Stephanus Wiidjanarko, orang Indonesia desainer aerodinamika Toro Rosso