Subsidi dan kompensasi tersebut dianggarkan untuk menekan melebarnya selisih antara harga jual energi ke masyarakat dengan harga produksinya di tengah lonjakan harga komoditas energi.
Karena membengkaknya angka subsidi dan kompenasi itu, Rofyanto menilai perlu dilakukan pengurangan subsidi secara bertahap.
Lalu perlu dilakukan pengembalian harga energi tersebut mengikuti harga keekonomiannya.
Sebagai contoh, Pertalite saat ini dihargai Rp 7.650 per liter karena subsidi Pemerintah.
Padahal, harga keekonomian atau harga asli Pertalite Rp 17.200 jika tidak disubsidi Pemerintah.
Kemudian juga sering kali ditemukan penyaluran subsidi tidak tepat sasaran, yakni ikut dinikmati oleh masyarakat yang mampu.
"Jadi memang secara bertahap, secara berangsur-angsur harus kita kembalikan ke harga keekonomiannya supaya belanja produktif," katanya.
Dengan demikian, subsidi menjadi berkurang karena dialihkan menjadi skema subsidi tertutup yang menyasar langsung penerima manfaat.
Bukan lagi menerapkan skema subsidi barang seperti sebelumnya yang membuat penyaluran subsidi energi menjadi tidak tepat sasaran.
"Subsidi itu hanya untuk rakyat miskin dan rakyat yang membutuhkan. Rakyat yang mampu, menengah ke atas mestinya tidak perlu mendapatkan subsidi," pungkas Rofyanto.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Subsidi BBM dan Listrik Dikurangi Bertahap, Kemenkeu: Yang Mampu Tak Perlu Dapat Subsidi