Yudistira sekalipun ketika ditanya apa yang dilihat, ia menjawab uang dilihat adalah Guru Drona dan sudah pasti tidak diijinkan melepaskan anak panahnya.
Hingga tiba pada gilirannya Arjuna ditanya apa yang dilihat, dan ia bilang biji mata burung.
Maka diijinkanlah Arjuna untuk melepas anak panah dan kenalah burung itu.
Dari uraian tersebut, menurut Guna pentinglah mengasah ketajaman intelektual yang bersumber dari pikiran agar perhitungan tepat.
Andaikan saja Arjuna tidak memiliki perhitungan tajam dan tepat, pasti ia tidak akan bisa menembak burung tersebut dengan anak panahnya. Karena hal itulah, Arjuna sering digunakan sebagai figur landeping idep atau pikirannya yang tajam.
Lalu pertanyaannya, bagaimana cara mempertajam pikiran?
Guna menambahkan, belajar pada Arjuna saat bertapa di Gunung Indrakila untuk mendapatkan anugerah panah pasupati sastra.
Karena dari keteguhan tapanya Arjuna juga disebut sebagai 'wiku wita raga' oleh Dewi Supraba.
Ketika Arjuna bertapa di Gunung Indrakila, Bhatara Indara mengutus tujuh bidadari untuk menggoda tapanya.
Bidadari tersebut dipimpin oleh Dewi Tila Utama dan Dewi Supraba.
Tilotama dan Supraba ini bukan bidadari biasa.
Diciptakan dari manik-manik terbaik surga oleh Bhatara Brahma, dan bahkan yang menciptakannya pun tergoda oleh kecantikannya.
Digoda selama tiga hari tiga malam, Arjuna tetap teguh.
Setelah berjibaku menggoda Arjuna dengan mempersembahkan kecantikannya yang paling cantik, maka keadaan menjadi berubah.
Bidadarilah yang tergoda akan keteguhan tapa Arjuna.
Itulah wiku wita raga.
Mata yang melihat tidak terikat rupa, telinga tidak terikat lagi dengan suara-suara yang indah, lidah yang mengecap rasa dan mengucap kata tidak terikat lagi pada sad rasa.
Kulit tidak terikat lagi pada sentuhan-sentuhan.
Selain itu, dalam melakukan tapa tersebut ada motif atau tujuan yang baik.
Saat Bhatara Indra berubah menjadi pendeta dan menguji keteguhan tapa Arjuna, Beliau bertanya motif atau tujuannya mendapatkan pasupati sastra.
Arjuna mengatakan ingin diabdikannya untuk sang kakak yaitu Yudistira sehingga Arjuna lolos ujian dari Dewa Indra.
Yang ketiga adalah bersatunya kesadaran dengan Siwa atau intelektualitas bertemu dengan nilai religius.
Bhatara Siwa sebelum menganugerahkan panah pasupati sastra menjelma sebagai pemburu dan memanah berbarengan saat Arjuna juga memanah babi titisan dari Raksasa Muka anak buah Raksasa Niwatakawaca.
Dalam teks dikatakan sudah menjadi satu panah Arjina dan dewa Siwa.
Setelah berdebat terkait siapa yang memanah lebih dahulu, akhirnya Arjuna sadar bahwa yang dihadapinya adalah Dewa Siwa sehingga diberikanlah anugerah pasupati sastra tersebut.
Jadi agar bisa ngelandepang idep dan bisa mendapatkan pasupati sastra ini, menurut kekawin Arjuna Wiwaha, seseorang harus melakukan yoga.
"Katemunta sitan katemu kahidepta sitan kahidep. Apa yang dipikirkan bisa tercapai, dan apa yang dinanti bisa diraih," katanya.
Wakil Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali, Pinandita I Ketut Pasek Swastika mengatakan pada saat inilah mestinya membersihkan diri terkait dengan peralatan yang lancip tersebut.
Lancip itu juga termasuk pikiran.
"Sehingga Tumpek Landep ini bukan hanya ngotonin sarwa lancip, tapi juga pikiran yang utama karena pikiran adalah awal dari semua. Karena dari pikiran ada perkataan, karena perkataan ada perbuatan, dan perbuatan itulah yang menunjukkan jati diri seseorang," katanya.
"Marilah kita sucikan pikiran kita dari kekotoran. Selain itu perkataan dan perbuatan juga mesti dibersihkan dari kekotoran, terlebih lagi menjelang tahun politik," imbuhnya.
Ia juga mengajak saat momen ini untuk menghindari hoaks, mencaci maki, mendeskriditkan orang, dan semua yang berbau kotor atau negatif.
Artikel ini telah tayang di Tribun-bali.com dengan judul "BREAKING NEWS : Tumpek Landep, Seluruh Kendaraan Operasional BPBD Denpasar Diupacarai".