Merek Chery "Menghilang" Dua Kali, Begini Ceritanya...

Febri Ardani Saragih - Kamis, 16 Februari 2017 | 18:35 WIB

Diler mobil merek China di kawasan Sunter, Jakarta Utara. (Febri Ardani Saragih - )

Jakarta, Otomania.com — Sejarah membuktikan, bisnis otomotif merek China tidak bisa stabil dalam waktu lama di Indonesia. Salah satu yang mengalami pasang surut adalah Chery. Sudah dua kali prinsipal Chery Automobile Co Ltd bekerja sama dengan perusahaan asal Indonesia, tetapi bisnis tidak bisa berkembang.

Awalnya, Chery masuk ke Indonesia melalui grup Indomobil pada 2005. Strategi itu termasuk mendirikan PT Unicor Prima Motor yang berperan sebagai distributor. Penjualan mobil Chery dimulai pada 2006, operasinya berjalan hingga 2011.

Pada masa itu, ada dua produk Chery yang diproduksi lokal atau completely knocked down (CKD), yaitu hatchback QQ dan SUV Tiggo. Hingga saat ini, kedua model itu yang paling dikenal, padahal Chery juga punya banyak model lain.

Chery sempat mengalami masa vakum pertama pada 2011 sampai akhirnya pada 2012 bangkit lagi di bawah payung Chery Mobil Indonesia (CMI). CMI merupakan perusahaan bagian dari Grup Auto Mandiri. Pada saat meluncur, CMI memperkenalkan banyak model Chery lain, yakni city car, MPV, dan pikap.

Saat peresmian pada 2012, CMI sempat mengatakan bakal menjalani dulu proses completely built-up (CBU), lalu pengembangannya berlanjut ke perakitan lokal bekerja sama dengan PT Gaya Motor milik Astra International. 

Saat bertemu dengan President CMI Hosea Sanjaya, di Jakarta, Minggu (12/2/2017), dia menjelaskan, model bisnis CMI bukan sebagai distributor, melainkan menjadi perusahaan join venture dengan Chery Automobile Co Ltd. Inilah sebabnya, berbeda seperti masa Grup Indomobil, Chery diizinkan dipakai jadi nama perusahaan.

Menurut Hosea, sebelum masa CMI, ada berbagai masalah yang dialami Chery. Dia menyebut masalahnya ada pada konsistensi pelayanan, ketidaksesuaian suplai dan permintaan, serta jaringan purna-jual yang tidak tertata baik.

“Produksi 1.000 unit ternyata cuma 50 unit. Jaringan (purna-jual) harusnya dibuka, ternyata tidak hidup,” ucap Hosea.

Vakum kedua

Masalah-masalah itu yang coba diselesaikan. Pada masa awal operasi, CMI sempat memikirkan tentang investasi. Namun, belum sempat hitung-hitungan selesai, terjadi penggantian manajemen prinsipal pada 2014.

“Jadi, kami diarahkan untuk investasi seperti model sebelumnya, QQ dan Tiggo. Saya enggak mau karena pengembangan produknya tidak bisa, jadi kaku,” kata Hosea.

Menurut pemberitaan pada 2012, CMI ingin memproduksi tiga model lain, yaitu YoKi (pikap), YoYo (MPV), dan model city car.

Menurut dia, akan lebih menguntungkan jika CMI menjadi perusahaan join venture, sebab mau tidak mau prinsipal akan membantu dalam hal pengadaan perlengkapan produksi. Jika CMI bekerja sendiri, maka pengadaan itu diinvestasikan sendiri.

“Jadi, kami sudah menghitung investasi. Kami belajar praktik bisnis yang sehat. Bisnis Chery itu ada perencanaan, tetapi tidak bisa dijalankan karena kami melihatnya tidak ideal. Sampai sekarang apakah Chery masih ada? Ada, purna-jual tetap saya jaga,” ucap Hosea. 

Terakhir, penjualan CMI terjadi pada 2014. Menurut Hosea, itu merupakan tahun terakhir CMI mengimpor mobil. Saat ini, unit yang tersedia di diler hanya pajangan, tidak dijual.