Jakarta, Otomania – Situasi yang sering dihadapi pengguna jalan raya adalah pengendara lain yang berlaku semena-mena. Salah satunya adalah kelompok pengendara dengan atribut lampu rotator atau lampu biru khas petugas kepolisian.
Pengendara dengan tambahan aksesori ini biasanya ditengah kemacetan meminta hak pengguna lain, setengah memaksa meski bukan petugas jalan raya atau kepolisian. Keluhan pun bermunculan terhadap kelompok pengendara seperti ini.
“Mengenai lampu rotator dan atribut semua sudah diatur di UU No 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan. Penindakan juga terus dilakukan oleh petugas di lapangan terhadap pengendara yang melanggar,” ucap AKBP Budiyanto, Kasubdit Gakkum Ditlantas Polda Metro Jaya saat dihubungi Otomania, Selasa (8/11/2016).
Sesuai UU No 22 tahun 2009 pasal 59 ayat 5 dijelaskan bahwa penggunaan dan warna lampu menandakan institusi yang berhak. Warna biru untuk kepolisian, warna merah dan sirene digunakan untuk pengawalan, pemadam kebakaran, ambulans palang merah dan mobil jenazah. Warna kuning untuk angkutan barang, patroli jalan tol, dan perawatan kebersihan umum.
Edo Rusyanto, Ketua Umum Road Safety Association (RSA) yang juga pengamat transportasi mengungkapkan, perlu adanya penegakan hukum yang tegas, konsisten, kredibel, transparan dan tanpa pandang bulu mengenai keberadaan pengendara dengan rotator ini.
“Salah satu solusinya penegakan hukum yang tegas. Ini agar tumbuh kesadaran di kalangan pengguna jalan bahwa semua ada porsinya,” ungkap Edo.
Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dikenakan ketentuan pidana sesuai pasal 287 ayat 4 UU No 22 tahun 2009. Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan yang melanggar ketentuan mengenai penggunaan atau hak utama bagi kendaraan yang menggunakan alat peringatan dengan bunyi dan sinar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, Pasal 106 ayat (4) huruf f, atau Pasal 134 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 bulan atau denda paling banyak Rp 250.000.