Efek Buruk Andalkan Engine Brake

Stanly Ravel - Selasa, 3 Mei 2016 | 19:41 WIB

(Stanly Ravel - )

Jakarta, Otomania - Engine brake menjadi cara lain untuk menurunkan putaran laju kendaraan selain melakukan pengereman secar konvensional. Umumnya, teknik engine brake lebih mudah dilakukan pada mobil bertransmisi manual.

Meski bisa dilakukan tapi engine brake tidak boleh diterapkan secara terus menerus atau sering. Hal ini hanya boleh dilakukan ketikan saat genting, seperti ketika mengerem sudah tidak dapat atau ketika turunan curam.

"Pada dasarnya engine brake adalah penegereman laju kendaraan akibat adanya hambatan pada putaran mesin. Hal ini bisa terjadi dari dua hal, yakni dari penurunan transmisi dari gigi tinggi ke rendah dan juga dengan mengendurkan gas secara tiba-tiba pada gigi rendah," ucap Arifani Perbowo, Logostic and Production General Manager Kia Mobil Indonesia, kepada Otomania, Selasa (3/5/2016).

Proses yang sering terjadi menurut Apre sapaan akrab Arifani, adalah yang pertama. Orang lebih sering melakukan engine brake dengan menurunkan transimisi dari gigi tinggi ke rendah.

Meski dapat membantu atau memaksimalkan fungsi rem untuk memberhentikan mobil, tapi sangat bahaya ketika dilakukan pada kecepatan tinggi. Apalagi terlalu sering.


"Melakukan cara yang pertama memang lebih terasa, tapi efeknya sangat merusak. Saat melakukan engine brake dari gigi atas langsung ke rendah pada bagian mesin atau trasnmisi akan ada perlawaanan yang membuat gesekan keras terjadi, apalagi saat di kecepatan tinggi. Hal ini bisa merusak, baik sektor mesin atau transmisi," ucap Apre.

Menurutnya, sudah banyak contoh kasus kerusakan akibat sering melakukan engine brake. Salah satunya pada kendaraan travel seperti Elf dan sejenisnya. Rata-rata pengendara lebih sering melakukan engine brake karena pola berkendara yang agresif.