Undang-undang Lalu Lintas, Perlukah Direvisi?

Ghulam Muhammad Nayazri - Jumat, 23 Oktober 2015 | 08:43 WIB

(Ghulam Muhammad Nayazri - )


Jakarta, Otomania –
Kecelakaan lalu lintas yang sering terjadi, kebanyakan disebabkan oleh ketidaktaatan pengemudi terhadap aturan jalan raya. Sedangkan, jika dirunut, ketaatan sendiri muncul ketika seseorang sudah mengerti dan paham terkait berperilaku di jalan. Maka di situlah pentingnya lembaga pendidikan pengemudi, untuk memberikan pemahaman.

Namun, di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, pasal 77 ayat 3 tertulis, untuk bisa mendapatkan Surat Izin Mengemudi (SIM) di jalan raya, masyarakat boleh tidak melalui lembaga pendidikan mengemudi atau belajar sendiri.

Jika begitu, sangat jelas semakin banyak pengendara yang buta etika berlalu lintas. Ini sangat berpotensi menjadi penyebab munculnya kecelakaan. Jadi apakah pasal tersebut bisa direvisi?

Menanggapi hal tersebut, Ellen Tangkudung, Pengamat Transportasi Fakultas Teknik Universitas Indonesia, yang ikut dalam persiapan penetapan UU LLAJ tersebut mengatakan, ada alasan di balik memperbolehkan masyarakat yang ingin memiliki SIM belajar sendiri, karena ini untuk memberi ruang bagi yang sudah bisa mengendarai kendaraan.

“Terkait dengan revisi pasal tersebut, memang perlu dikaji kembali sama pakar hukum. Yang pasti, ketika mempersiapkannya, memang alasan mereka untuk mengakomodasi masyarakat, yang sudah bisa belajar sendiri. Karena memang ada orang yang tidak perlu les mengemudi, karena memang dia sudah bisa. Barangkali pernah belajar di luar negeri atau di mana, yang penting ketika dia diuji, kemudian lulus,” ujar Ellen kepada Otomania, Selasa (20/10/2015).

Profesor Leksmono Suryo Putranto, Guru Besar Bidang Transportasi Universitas Tarumanegara mengatakan kepada Otomania, pengetahuan dan keterampilan mengemudi sangat penting. Lebih lagi untuk bisa berada di jalan, yang setiap saat memungkinkan terjadi kecelakaan. Kemungkinan jika ada revisi undang-undang, pasal tersebut salah satu yang bisa diperbaiki.

“Kadang pengaturan legal, seringkali melihat fakta objektif dari sosiologi masyarakatnya sendiri. Namun jika memang akan ada revisi undang-undang, konten tersebut bisa jadi salah satu yang bisa diperbaiki. Kita harus menetapkan standar yang berkualitas, untuk negara kita,” ujar Profesor Leksmono.